Sunday, February 28, 2016

Cacing Pipih



CACING PIPIH (Platyhekminthes)
Oleh :
Amien Fadli* (140341603277)
*Mahasiswa Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Malang
Plathyhelmintes.
Platyhelmintes merupakan cacing yang mempunyai simetri bilateral dan tubuhnya pipih secara dorsoventral (Kastawi et. all., 2003). Platyhelminthes berasal dari Bahasa Yunani, dari kata Platy = pipih dan helminthes = cacing. Jadi berarti cacing bertubuh pipih. Filum Platyhelminthes terdiri dari sekitar 13,000 species, terbagi menjadi tiga kelas; dua yang bersifat parasit dan satu hidup bebas. Filum Platyhelminthes dibagi menjadi 3 kelas yaitu: Tubellaria, Trematoda dan Cestoda (Sutarno, 2009). Planaria dan kerabatnya dikelompokkan sebagai kelas Turbellaria. Cacing hati adalah parasit eksternal atau internal dari Kelas Trematoda. Cacing pita adalah parasit internal dari kelas Cestoda. Umumnya, golongan cacing pipih hidup di sungai, danau, laut, atau sebagai parasit di dalam tubuh organisme lain. Platyhelminthes yang hidup bebas adalah di air tawar, laut, dan tempat-tempat yang lembab, sedangkan Platyhelminthes yang parasit hidup di dalam tubuh inangnya (endoparasit) pada siput air, sapi, babi, atau manusia.
Cacing golongan ini sangat sensitif terhadap cahaya. Beberapa contoh Platyhelminthes adalah Planaria yang sering ditemukan di balik batuan (panjang 2-3 cm), Bipalium yang hidup di balik lumut lembab (panjang mencapai 60 cm), Clonorchis sinensis, cacing hati, dan cacing pita.
2.2.1 Morfologi dan Anatomi
Platyhelminthes memiliki bentuk tubuh pipih memanjang, seperti pita, dan sperti daun. Panjang tubuhnya berfariasi ada yang beberapa millimeter dan ada yang sampai belasan meter. Platyhelmintes tidak memiliki rongga tubuh (selom) sehingga disebut hewan aselomata. Tubuh pipih dorsoventral, tidak berbuku-buku, simetri bilateral, serta dapat dibedakan antara ujung anterior dan posterior. Lapisan tubuh tersusun dari 3 lapis (triploblastik) yaitu ektoderm yang akan berkembang menjadi kulit, mesoderm yang akan berkembang menjadi otot – otot dan beberapa organ tubuh dan endoderm yang akan berkembang menjadi alat pencernaan makanan. Walaupun cacing pipih mengalami perkembangan triploblastik, mereka merupakan aselomata (hewan yang tidak memiliki rongga tubuh) (Campbell, 2008).

System ekresi terdiri atas satu atau sepasang protonefridia dengan sel api. System syaraf pada hewan ini masih primitive dan disebut dengan system tangga tali. Organ sensori umum dijumpai pada turbellaria, tetapi pada hewan parasitt organ tersebut mereduksi. Reseptor kimia dan peraba pada umumnya berbentuk lubang atau lekukan yang bersilia. Platyhelmintes bersifat hemafrodit dan system reproduksinya berkembang serta kompleks. Menurut Kastawi (2003 : 117), reproduksi aseksual dengan cara memotong tubuh dialami oleh turbellaria pada air tawar. Secara seksual terjadi dengan pembuahan, pembuahan silang sering terjadi pada trematode dan pembuahan sendiri sering terjadi pada cestoda. Fertilsasi terjadi secara internal dan siklus hidupnya melibatkan banyak inang.

2.2.2 Fisiologi
2.2.2.1 Sistem Gerak
            Cacing yang hidup bebas dapat bergerak aktif. Planaria meskipun hidup di air tidak bergerak dengan cara berenang, tetapi bergerak dengan cara meluncur dan merayap. Gerakan meluncur terjadi akibat adanya gerakan silia pada bagian ventral tubuh serta lender yang disekresikan oleh kalenjar lender yang terletak di tepi tubuh planaria. Gerakan merayap terjadi akibat dari memanjangnya tubuh cacing yang merupakan akibat dari kontraksi otot sirkular dan dorsoventral. Kemudian bagian depan tubuh akan mencengkeram pada subtract dengan mukosa atau alat pelekat khusus. Beberapa Turbellaria yang juga menggunakan otot-ototnya untuk berenang melalui air dengan gerakan berdenyut (Campbell, 2008).. Dengan mengkontraksikan otot longitudinal maka bagian tubuh belakang akan tertarik ke depan (Kastawi et. all., 2003). Sedangkan cacing trematode dan cestoda parasite dewasa tidak bergerak aktif dan umumnya menetap pada organ tubuh tertentu dari inang

2.2.2.2 Sistem Respirasi dan degesti
Sistem respirasi Platyhelminthes melalui permukaan tubuhnya secara difusi dan belum memiliki alat pernafasan khusus. Sedangkan yang hidup sebagai endoparasit bernafas secara anaerob. Sistem pencernaan terdiri dari mulut, faring, dan usus (tanpa anus), usus bercabang-cabang ke seluruh tubuhnya. Planaria dapat hidup tanpa makanan dalam waktu yang lama dengan jalan melarutkan organ reproduksi, parenkim dan ototnya sendiri sehingga ukurannya akan menyusut.
Pada trematode memiliki alat pengisap pada mulutnya. Makanan trematode bisa berupa darah, sel yang rusak, cairan empedu dan cairan limfa. Makanan yang tidak tercerna akan dimuntahkan lewat mulut. Sedangkan cacing cestoda tidak memiliki alat percernaan sama sekali. Makanan yang berupa sari sari makanan langsung diserap dari intestine inang melalui seluruh permukaan tubuh.
2.2.2.3 Sistem Ekresi dan Koordinasi
 Platyhelminthes tidak memiliki sistem peredaran darah (sirkulasi) dan alat ekskresinya berupa sel-sel api. Sel sel api mengumpulkan kelebihan air dan kotoran yang bersifat cair. Di dalam rongga sel api terdapat silian yang dapat menggerakkan zat buangan pembuluh yang ujungnya terbuka pada permukaan tubuh. Kelompok Platyhelminthes tertentu memiliki sistem saraf tangga tali. Sistem saraf tangga tali terdiri dari sepasang simpul saraf (ganglia) dengan sepasang tali saraf yang memanjang dan bercabang-cabang melintang seperti tangga.

2.2.2.4 Sistem Reproduksi
            Cacing pipih dapat berkembangbiak dengan cara seksual dan aseksual. Menurut Kastawi (2003: 127), perkembangbiakan secara aseksual sering terjadi pada sebagian besar trematode. Cacing Dugestia mempunyai dua strain yang bersifat seksual dan aseksual. Pembelahan akan terjadi jika cacing telah mencapai ukuran maksimal. Pada strain yang bersifat seksual, keberadaan alat reproduksi hanya bersifat sementara yaitu pada saat musim kawin. Sesudah itu alat reproduksinya akan mengalami degenerasi dan hewan menjadi strain yang bersifat seksual.
            Cacing hati bersifat hemafrodit dan dapat melakukan pembuahan sendiri. Meskipun demikian fertilisasi sering terjadi secara silang. Sedangkan pada cestoda, proglotid yang menyusun tubuh cacing mempunyai kemampuan untuk melakukan reproduksi. Fertilisasi terjadi dengan sendirinya pada satu proglotid, akan tetapi lebih sering terjadi adalah fertilisasi antar proglotid yang berbeda daric acing yang sama.

2.2.2.5 Habitat dan Habitus
            Hewan yang tergolong kelas turbelaria umumnya hidup bebas di lingkungan yang berair. Cacing pipih yang tergolong trematoda kebanyakan bersifat parasit yang membutuhkan inang untuk kelangsungan hidupnya. Cacing dewasa hidup di hewan sebagai inang definitive. Sedangkan kelompok cestoda kebanyakan juga hidup parasit di hewan vertebrata (Kastawi, 2003). 

2.2.3 Klasifikasi
1.      Turbellaria
Keberadaan: 4000+ spesies di seluruh dunia; hidup di batu dan permukaan sedimen di air, di tanah basah, dan di bawah batang kayu. Hampir semua Turbellaria hidup bebas (bukan parasit). Kebanyakan turbellaria berwarna bening, hitam, atau abu-abu. Ciri khas turbellaria adalah adanya sel kelenjar khusus yang jumlahnya banyak dan terletak di epidermis. Kalenjar ini berfungsi untuk menghasilkan mukosa untuk melekat, untuk menutup subtract yang dilalui dan untuk melibas mangsa.  Kelas turbellaria memiliki 5 ordo yaitu Aceola, Rhabdocoeala, Alloecoela, Tricladida dan Polikladida.
Planaria sp
Cacing ini dipakai sebagai contoh yang mewakili anggota kelas Turbellaria pada umumnya. Anggota genus Dugesia, yang umumnya dikenal sebagai Planaria, berlimpah dalam kolam dan aliran sungai yang tidak terpolusi. Planaria mempunyai kebiasaan berlindung di tempat-tempat yang teduh, misalnya di balik batu-batuan, di bawah daun yang jatuh ke dalam air. Bentuk tubuh anggota ini adalah pipih dorsoventral, dengan bagian kepala yang berbentuk seperti segitiga, sedangkan bagian ekornya berbentuk meruncing yang panjang tubuh sekitar 5-25 mm. Planaria memangsa hewan yang lebih kecil atau memakan hewan-hewan yang sudah mati. Planaria dan cacing pipih lainnya tidak memiliki organ yang khusus untuk pertukaran gas dan sirkulasi. Bentuk tubuhnya yang pipih itu menempatkan semua sel-sel berdekatan dengan air sekitarnya, dan percabangan halus rongga gastrovaskuler mengedarkan makanan ke seluruh hewan tersebut. Menurut Jasin (1984), Di sepanjang tubuh Planaria sp bagian ventral diketemukan zona adesif yang berfungsi menghasilkan lendir liat yang berfungsi untuk melekatkan tubuh Planaria ke permukaan benda yang ditempelinya. Di permukaan ventral tubuh planaria ditutupi oleh rambut-rambut getar halus, berfungsi dalam pergerakan.
Sistem saluran pencernaan makanan terdiri dari mulut, faring, esofagus, dan usus. Mulut, terletak di bagian ventral dari tubuh, yaitu kira-kira dekat dengan pertengahan agak ke arah ekor. Lubang mulut ini dilanjutkan oleh kantung yang bentuknya silindris memanjang yang disebut rongga mulut (Faring). Esofagus merupakan persambungan daripada faring yang langsung bermuara kedalam usus; ususnya bercabang tiga, yaitu menuju ke arah anterior, sedang yang dua lagi sejajar menuju ke arah posterior. Seperti halnya hewan tingkat rendah lainnya, Planaria juga belum mempunyai alat pernafasan yang khusus. Pengambilan O2 maupun pengeluaran CO2 secara osmosis langsung melalui seluruh permukaan tubuh.
Sistem ekskresi terdiri dari 2 tabung ekskresi longitudinal yang mulai dari sel-sel nyala (flame cells) yang di bagian anteriornya berhubungan silang. Seluruh sistem ini terbuka ke luar melalui porus ekskretorius. Flame cells atau sel-sel api berfungsi sebagai alat ekskresi yang membuang zat-zat sampah yang merupakan sisa-sisa metabolisme dan juga sebagai alat osmoregulasi dalam arti ikut membantu mengeluarkan ekses-ekses penumpukan air di dalam tubuh, sehingga nilai osmosis tubuh tetap dapat dipertahankan seperti ukuran normal.
Sistem saraf terdiri dari 2 batang saraf yang membujur memanjang, yang di bagian anteriornya berhubungan silang, dan 2 ganglion anterior yang terletak dekat di bawah mata. Ganglion berfungsi sebagai otak dalam arti bertindak sebagai pusat susunan saraf serta mengkoordinir aktivitas-aktivitas anggota tubuh. Seonggok ganglion tersebut letaknya di bagian kepala persis di bawah lapisan epidermis agak di sebelah bintik mata. Ganglion ini karena terletak di bagian kepala dan berfungsi sebagai otak maka biasa disebut ganglion kepala atau ganglion cerebral. Dari ganglin cerebral ini keluarlah cabang-cabang urat saraf secara radier menuju ke arah lateral, anterior, dan pasterior. Cabang anterior menuju ke bagian bintik mata, cabang lateral menuju ke alat indera cemoreseptor, sedangkan cabang posterior ada satu pasang kanan kiri yang saling bersejajar yang membentang di bagian ventral tubuh yang disebut tali saraf.
Planaria sudah mempunyai alat indera yang berupa bintik mata, dan indera aurikel, yang kedua-duanya terletak di bagian kepala. Bintik mata merupakan titik hitam yang terletak di bagian dorsal daripada bagian kepala. Masing-masing bintik mata terdiri dari sel-sel pigmen yang tersusun dalam bentuk mangkok yang dilengkapi dengan sel-sel saraf sensorik yang sangat sensitif terhadap sinar. Bintik mata itu sekedar dapat membedakan gelap dan terang saja.
Planaria bersifat hermafrodit, terdapat alat kelamin jantan dan betina. Alat kelamin jantan terdiri dari:
1.      Testis, yang berjumlah ratusan, berbentuk bulat tersebar di sepanjang sisi tubuh keduanya.
2.      Vasa eferensia, yang merupakan pembuluh yang menghubungkan testis dengan bagian pembuluh lainnya.
3.      Vasa deferensia, merupakan pembuluh berjumlah dua buah yang masing-masing membentang di setiap sisi tubuh yang kedua-duanya saling bertemu dan bermuara ke dalam suatu kantung yang disebut vesiculus seminalis.
4.      Vesiculus seminalis, berfungsi untuk menampung sperma dan menyalurkan sperma menuju ke penis.
5.      Penis, yang merupakan alat pentransfer ke tubuh waktu mengadakan kopulasi pada perkawinan silang.

Sistem alat kelamin betina terdiri dari atas bagian-bagian seperti berikut:

1.    Ovari, berjumlah dua buah, berbentuk bulat terletak di bagian anterior tubuh.
2.    Oviduct, dari setiap ovarium akan membentang ke arah posterior sebuah saluran yang disebut oviduct (saluran telur). Antara saluran telur kanan dan kiri saling bersejajar yang masing-masing dilengkapi dengan kelenjar yang menghasilkan kuning telur.
3.    Kelenjar kuning telur, menghasilkan kuning telur yang akan disediakan bagi sel telur bila telah diproduksi oleh ovarium.
4.    Vagina, merupakan suatu aliran yang berfungsi untuk menerima transfer spermatozoid dari cacing planaria lain.
5.    Uterus, merupakan ruangan yang bentuknya menggelembung yang berfungsi untuk menyimpan spermatozoid. Uterus juga biasa disebut receptaculus seminalis.
6.    Genital atrium (ruang genitalis) yaitu muara antara kedua buah saluran telur.

Planaria berkembang biak dengan cara seksual maupun aseksual. Menurut Radiopoetro (1988: 192), Planaria akan menghindarkan diri bila terkena sinar yang kuat, oleh karena itu pada siang hari cacing itu melindungkan diri di bawah naungan batu-batu atau daun atau di bawah objek yang lain. Pada waktu istirahat biasanya Planaria melekatkanatau menempelkan diri pada suatu objek dengan bantuan zat lendir yang dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar lendir. Planaria melakukan dua macam gerak, yaitu gerak merayap dan meluncur. Menurut Rusyana (2011) Planaria sp memiliki daya regenerasi yang sangat tinggi, bila hewan ini dipotong-potong, maka bagian yang hilang akan tumbuh kembali dan menjadi individu utuh seperti sebelumnya


1.      Thrematoda
Trematode hidup di dalam atau pada tubuh hewan lain. Semua cacing hisap adalah parasit, berbentuk silinder atau seperti daun. Panjang berkisar 1 cm hingga 6 cm. Cacing ini memiliki penghisap untuk menempelkan diri ke organ internal atau permukaan luar inangnya. Sebagai suatu kelompok, cacing trematoda memparasiti banyak sekali jenis inang, dan sebagian besar spesies memiliki siklus hidup yang kompleks dengan adanya pergiliran tahap seksual dan aseksual. Banyak trematoda memerlukan suatu inang perantara atau intermediet tempat larva akan berkembang sebelum menginfeksi inang terakhirnya (umumnya vertebrata), tempat cacing dewasa hidup. Sebagai contoh, trematoda yang memparasati manusia menghabiskan sebagian dari  hidupnya di dalam bekicot.
Trematoda dewasa pada umumnya hidup di dalam hati, usus, paru-paru, ginjal, dan pembuluh darah vertebrata. Trematoda berlindung di dalam tubuh inangnya dengan melapisi permukaan tubuhnya dengan kutikula dan permukaan tubuhnya tidak memiliki silia (Kastawi, 2003)
Trematoda tidak mempunyai rongga badan dan semua organ berada di dalam jaringan parenkim. Tubuh biasanya pipih dorsoventral, dan biasanya tidak bersegmen dan seperti daun. Mereka mempunyai dua alat penghisap, satu mengelilingi mulut dan yang lain berada di dekat pertengahan tubuh atau pada ujung posterior. 

Sistem pencernaan makanan sangat sederhana. Terdapat mulut pada ujung anterior, yang dikelilingi oleh sebuah alat penghisap. Makanan dari mulut melalui faring yang berotot ke esofagus dan kemudian ke usus, yang terbagi menjadi dua sekum yang buntu. Sekum ini kadang bercabang, dan percabangan ini kadang-kadang sedikit rumit. Kebanyakan trematoda tidak mempunyai anus, dengan demikian sisa bahan makanan harus diregurgitasikan. Sistem reproduksinya kompleks. Sebagian besar dari trematoda hermafrodit, atau mempunyai organ jantan dan betina. 
 
         Sistem pencernaan makanan sangat sederhana. Terdapat mulut pada ujung anterior, yang dikelilingi oleh sebuah alat penghisap. Makanan dari mulut melalui faring yang berotot ke esofagus dan kemudian ke usus, yang terbagi menjadi dua sekum yang buntu. Sekum ini kadang bercabang, dan percabangan ini kadang-kadang sedikit rumit. Kebanyakan trematoda tidak mempunyai anus, dengan demikian sisa bahan makanan harus diregurgitasikan. Sistem reproduksinya kompleks. Sebagian besar dari trematoda hermafrodit, atau mempunyai organ jantan dan betina. 

1.      Cestoda
Cestoda hidup sebagai parasit dalam tubuh hewan. Contoh cacing pita adalah Taenia solium dan Taenia saginata yang parasit pada manusia. Taenia terdiri dari sebuah kepala bulat yang disebut scolex, sejumlah ruas, yang sama disebut disebut proglotid. Pada kepala terdapat alat hisap dan jenis Taenia solium mempunyai kait (rostellum) yang sangat tajam untuk melekat pada inang. Di belakang scolex terdapat leher kecil yang selalu tumbuh yang akan menghasilkan proglotid . Panjang tubuh cacing pita dapat mencapai 2 m. Setiap proglotid mengandung organ kelamin jantan (testis) dan organ kelamin betina (ovarium).
Tiap proglotid dapat terjadi fertilisasi sendiri. Proglotid yang dibuahi terdapat di bagian posterior tubuh cacing. Setelah reproduksi seksual, proglotid yang penuh dengan ribuan telur yang terfertilisasi dilepaskan dari ujung posterior dan meninggalkan tubuh inang bersama feses (Campbell, 2008). Proglotid dapat melepaskan diri (strobilasi) dan keluar dari tubuh inang utama bersama dengan tinja dengan membawa ribuan telur. Jika termakan hewan lain, telur akan berkembang dan memulai siklus hidup barunya. Menurut Suwignyo (2005:45) cacing pita tidak memiliki saluran pencernaan. Cacing pita menyerap makanan yang telah dicerna terlebih dahulu oleh inang.
Cestoda bersifat parasit karena menyerap sari makan dari usus halus inangnya. Sari makanan diserap langsung oleh seluruh permukaan tubuhnya karena cacing ini tidak memiliki mulut dan pencernaan (usus) ( Kastawi, 2003). Manusia dapat terinfeksi Cestoda saat memakan daging hewan yang dimasak tidak sempurna. Inang perantara Cestoda adalah sapi pada Taenia saginata dan babi pada taenia solium.


Siklus Hidup Taenia sp
 Larva, yang dilengkapi dengan scolex akan berkembang menjadi kista pada jaringan tubuh inang, misal pada otot. Manusia yang memakan daging yang terinfeksi, akan menyebabkan kista berkembang menjadi cacing pita dewasa Cacing pita dewasa terdiri dari scolex dan proglotid. Proglotid pada bagian ujung mengandung telur yang telah dibuahi yang siap dikeluarkan bersama feses untuk menginfeksi kembali Di dalam telur yang telah dibuahi, embrio berkembang menjadi larva. Sapi mungkin akan memakan telur bersama rumput dan akan menjadi inang sementara bagi cacing pita.

2.2.4 Manfaat
Adapun peranan Platyhelminthes dalam kehidupan adalah sebagai berikut:
1.     Planaria menjadi salah satu makanan bagi organisme lain.
2.    Cacing hati maupun cacing pita merupakan parasit pada manusia
a.    Schistosoma sp, dapat menyebabkan skistosomiasis, penyakit parasit yang ditularkan melalui siput air tawar pada manusia. Apabila cacing tersebut berkembang di tubuh manusia, dapat terjadi kerusakan jaringan dan organ seperti kandung kemih, ureter, hati, limpa, dan ginjal manusia.Kerusakan tersebut disebabkan perkembangbiakan cacing Schistosoma di dalam tubuh.
b.    Clonorchis sinensis yang menyebabkan infeksi cacing hati pada manusia dan hewan mamalia lainnya, spesies ini dapat menghisap darah manusia.
c.    Paragonimus sp, parasit pada paru-paru manusia. dapat menyebabkan gejala gangguan pernafasan yaitu sesak bila bernafas, batuk kronis, dahak/sputum becampur darah yang berwarna coklat (ada telur cacing).
d.   Fasciolisis sp, parasit di dalam saluran pencernaan. Terjadinya radang di daerah gigitan, menyebabkan hipersekresi dari lapisan mukosa usus sehingga menyebabkan hambatan makanan yang lewat. Sebagai akibatnya adalah ulserasi, haemoragik dan absces pada dinding usus. Terjadi gejala diaree kronis.
e.    Taeniasis, penyakit yang disebabkan oleh Taenia sp. Cacing ini menghisap sari-sari makanan di usus manusia.
f.     Fascioliasis, disebabkan oleh Fasciola hepatica. Merupakan penyakit parasit yang menyerang semua jenis ternak. Hewan terserang ditandai dengan nafsu makan turun, kurus, selaput lendir mata pucat dan diare.

Campbell, Neil A. 2008. Biologi Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Jasin, Maskoeri. 1984. Sistematik Hewan Invertebrata dan Vertebrata. Surabaya: Sinar Wijaya.
Kastawi, Y., Indriwati, S. E., Ibrohim., Masjhudi., & Rahayu, S.E . 2003. Zoologi Avertebrata. Malang : Jurusan Biologi FMIPA UM
Radiopuetro. 1988. Zoology. Jakarta : Erlangga
Sutarno, Nono. 2009. Platyhelminthes. Website: http :// file. upi. edu/ Direktori/ FPMIPA/ JUR._PEND._ BIOLOGI/ 194808181974121 NONO_SUTARNO/ZOOIN/ PLATYHELMINTHES.pdf. Diakses Selasa, 2 Januari 2016 pukul 12.27 WIB
Suwignyo, S ., Wardianto, Y., Widigdo, B. & Krisanti, M. 2015. Avertebrata Air Jilid 1. Jakarta : Penebar Swadaya