CACING PIPIH (Platyhekminthes)
Oleh :
Amien Fadli* (140341603277)
*Mahasiswa Jurusan Biologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Malang
Plathyhelmintes.
Platyhelmintes merupakan cacing yang
mempunyai simetri bilateral dan tubuhnya pipih secara dorsoventral (Kastawi et.
all., 2003). Platyhelminthes berasal dari Bahasa Yunani, dari kata Platy =
pipih dan helminthes = cacing. Jadi berarti cacing bertubuh pipih. Filum
Platyhelminthes terdiri dari sekitar 13,000 species, terbagi menjadi tiga
kelas; dua yang bersifat parasit dan satu hidup bebas. Filum Platyhelminthes
dibagi menjadi 3 kelas yaitu: Tubellaria, Trematoda dan Cestoda (Sutarno, 2009).
Planaria dan kerabatnya dikelompokkan sebagai kelas Turbellaria. Cacing hati
adalah parasit eksternal atau internal dari Kelas Trematoda. Cacing pita adalah
parasit internal dari kelas Cestoda. Umumnya, golongan cacing pipih hidup di
sungai, danau, laut, atau sebagai parasit di dalam tubuh organisme lain.
Platyhelminthes yang hidup bebas adalah di air tawar, laut, dan tempat-tempat
yang lembab, sedangkan Platyhelminthes yang parasit hidup di dalam tubuh
inangnya (endoparasit) pada siput air, sapi, babi, atau manusia.
Cacing golongan ini sangat sensitif terhadap
cahaya. Beberapa contoh Platyhelminthes adalah Planaria yang sering ditemukan
di balik batuan (panjang 2-3 cm), Bipalium yang hidup di balik lumut lembab
(panjang mencapai 60 cm), Clonorchis sinensis, cacing hati, dan cacing pita.
2.2.1 Morfologi dan Anatomi
Platyhelminthes memiliki bentuk tubuh
pipih memanjang, seperti pita, dan sperti daun. Panjang tubuhnya berfariasi ada
yang beberapa millimeter dan ada yang sampai belasan meter. Platyhelmintes tidak
memiliki rongga tubuh (selom) sehingga disebut hewan aselomata. Tubuh pipih
dorsoventral, tidak berbuku-buku, simetri bilateral, serta dapat dibedakan
antara ujung anterior dan posterior. Lapisan tubuh tersusun dari 3 lapis
(triploblastik) yaitu ektoderm yang akan berkembang menjadi kulit, mesoderm
yang akan berkembang menjadi otot – otot dan beberapa organ tubuh dan endoderm
yang akan berkembang menjadi alat pencernaan makanan. Walaupun cacing pipih
mengalami perkembangan triploblastik, mereka merupakan aselomata (hewan yang
tidak memiliki rongga tubuh) (Campbell, 2008).
System ekresi terdiri atas satu atau
sepasang protonefridia dengan sel api. System syaraf pada hewan ini masih
primitive dan disebut dengan system tangga tali. Organ sensori umum dijumpai
pada turbellaria, tetapi pada hewan parasitt organ tersebut mereduksi. Reseptor
kimia dan peraba pada umumnya berbentuk lubang atau lekukan yang bersilia.
Platyhelmintes bersifat hemafrodit dan system reproduksinya berkembang serta
kompleks. Menurut Kastawi (2003 : 117), reproduksi aseksual dengan cara
memotong tubuh dialami oleh turbellaria pada air tawar. Secara seksual terjadi
dengan pembuahan, pembuahan silang sering terjadi pada trematode dan pembuahan
sendiri sering terjadi pada cestoda. Fertilsasi terjadi secara internal dan
siklus hidupnya melibatkan banyak inang.
2.2.2.1 Sistem Gerak
Cacing
yang hidup bebas dapat bergerak aktif. Planaria meskipun hidup di air tidak
bergerak dengan cara berenang, tetapi bergerak dengan cara meluncur dan
merayap. Gerakan meluncur terjadi akibat adanya gerakan silia pada bagian
ventral tubuh serta lender yang disekresikan oleh kalenjar lender yang terletak
di tepi tubuh planaria. Gerakan merayap terjadi akibat dari memanjangnya tubuh
cacing yang merupakan akibat dari kontraksi otot sirkular dan dorsoventral.
Kemudian bagian depan tubuh akan mencengkeram pada subtract dengan mukosa atau
alat pelekat khusus. Beberapa Turbellaria yang juga menggunakan otot-ototnya
untuk berenang melalui air dengan gerakan berdenyut (Campbell, 2008).. Dengan
mengkontraksikan otot longitudinal maka bagian tubuh belakang akan tertarik ke
depan (Kastawi et. all., 2003). Sedangkan cacing trematode dan cestoda parasite
dewasa tidak bergerak aktif dan umumnya menetap pada organ tubuh tertentu dari
inang
2.2.2.2 Sistem Respirasi dan degesti
Sistem respirasi Platyhelminthes melalui
permukaan tubuhnya secara difusi dan belum memiliki alat pernafasan khusus.
Sedangkan yang hidup sebagai endoparasit bernafas secara anaerob. Sistem
pencernaan terdiri dari mulut, faring, dan usus (tanpa anus), usus
bercabang-cabang ke seluruh tubuhnya. Planaria dapat hidup tanpa makanan dalam
waktu yang lama dengan jalan melarutkan organ reproduksi, parenkim dan ototnya
sendiri sehingga ukurannya akan menyusut.
Pada trematode memiliki alat pengisap
pada mulutnya. Makanan trematode bisa berupa darah, sel yang rusak, cairan
empedu dan cairan limfa. Makanan yang tidak tercerna akan dimuntahkan lewat
mulut. Sedangkan cacing cestoda tidak memiliki alat percernaan sama sekali.
Makanan yang berupa sari sari makanan langsung diserap dari intestine inang
melalui seluruh permukaan tubuh.
2.2.2.3 Sistem Ekresi dan Koordinasi
Platyhelminthes tidak memiliki sistem
peredaran darah (sirkulasi) dan alat ekskresinya berupa sel-sel api. Sel sel
api mengumpulkan kelebihan air dan kotoran yang bersifat cair. Di dalam rongga
sel api terdapat silian yang dapat menggerakkan zat buangan pembuluh yang
ujungnya terbuka pada permukaan tubuh. Kelompok Platyhelminthes tertentu
memiliki sistem saraf tangga tali. Sistem saraf tangga tali terdiri dari
sepasang simpul saraf (ganglia) dengan sepasang tali saraf yang memanjang dan
bercabang-cabang melintang seperti tangga.
Cacing
pipih dapat berkembangbiak dengan cara seksual dan aseksual. Menurut Kastawi
(2003: 127), perkembangbiakan secara aseksual sering terjadi pada sebagian
besar trematode. Cacing Dugestia mempunyai dua strain yang bersifat
seksual dan aseksual. Pembelahan akan terjadi jika cacing telah mencapai ukuran
maksimal. Pada strain yang bersifat seksual, keberadaan alat reproduksi hanya bersifat
sementara yaitu pada saat musim kawin. Sesudah itu alat reproduksinya akan
mengalami degenerasi dan hewan menjadi strain yang bersifat seksual.
Cacing
hati bersifat hemafrodit dan dapat melakukan pembuahan sendiri. Meskipun
demikian fertilisasi sering terjadi secara silang. Sedangkan pada cestoda,
proglotid yang menyusun tubuh cacing mempunyai kemampuan untuk melakukan
reproduksi. Fertilisasi terjadi dengan sendirinya pada satu proglotid, akan
tetapi lebih sering terjadi adalah fertilisasi antar proglotid yang berbeda
daric acing yang sama.
Hewan yang
tergolong kelas turbelaria umumnya hidup bebas di lingkungan yang berair.
Cacing pipih yang tergolong trematoda kebanyakan bersifat parasit yang
membutuhkan inang untuk kelangsungan hidupnya. Cacing dewasa hidup di hewan
sebagai inang definitive. Sedangkan kelompok cestoda kebanyakan juga hidup
parasit di hewan vertebrata (Kastawi, 2003).
2.2.3 Klasifikasi
1. Turbellaria
Keberadaan: 4000+ spesies di seluruh
dunia; hidup di batu dan permukaan sedimen di air, di tanah basah, dan di bawah
batang kayu. Hampir semua Turbellaria hidup bebas (bukan parasit). Kebanyakan
turbellaria berwarna bening, hitam, atau abu-abu. Ciri khas turbellaria adalah
adanya sel kelenjar khusus yang jumlahnya banyak dan terletak di epidermis.
Kalenjar ini berfungsi untuk menghasilkan mukosa untuk melekat, untuk menutup
subtract yang dilalui dan untuk melibas mangsa.
Kelas turbellaria memiliki 5 ordo yaitu Aceola, Rhabdocoeala,
Alloecoela, Tricladida dan Polikladida.
Planaria sp
Cacing ini dipakai sebagai contoh yang
mewakili anggota kelas Turbellaria pada umumnya. Anggota genus Dugesia, yang
umumnya dikenal sebagai Planaria, berlimpah dalam kolam dan aliran sungai yang
tidak terpolusi. Planaria mempunyai kebiasaan berlindung di tempat-tempat yang
teduh, misalnya di balik batu-batuan, di bawah daun yang jatuh ke dalam air.
Bentuk tubuh anggota ini adalah pipih dorsoventral, dengan bagian kepala yang
berbentuk seperti segitiga, sedangkan bagian ekornya berbentuk meruncing yang
panjang tubuh sekitar 5-25 mm. Planaria memangsa hewan yang lebih kecil atau
memakan hewan-hewan yang sudah mati. Planaria dan cacing pipih lainnya tidak
memiliki organ yang khusus untuk pertukaran gas dan sirkulasi. Bentuk tubuhnya
yang pipih itu menempatkan semua sel-sel berdekatan dengan air sekitarnya, dan
percabangan halus rongga gastrovaskuler mengedarkan makanan ke seluruh hewan
tersebut. Menurut Jasin (1984), Di sepanjang tubuh Planaria sp bagian ventral
diketemukan zona adesif yang berfungsi menghasilkan lendir liat yang berfungsi
untuk melekatkan tubuh Planaria ke permukaan benda yang ditempelinya. Di
permukaan ventral tubuh planaria ditutupi oleh rambut-rambut getar halus,
berfungsi dalam pergerakan.
Sistem saluran pencernaan makanan
terdiri dari mulut, faring, esofagus, dan usus. Mulut, terletak di bagian
ventral dari tubuh, yaitu kira-kira dekat dengan pertengahan agak ke arah ekor.
Lubang mulut ini dilanjutkan oleh kantung yang bentuknya silindris memanjang
yang disebut rongga mulut (Faring). Esofagus merupakan persambungan daripada
faring yang langsung bermuara kedalam usus; ususnya bercabang tiga, yaitu
menuju ke arah anterior, sedang yang dua lagi sejajar menuju ke arah posterior.
Seperti halnya hewan tingkat rendah lainnya, Planaria juga belum mempunyai alat
pernafasan yang khusus. Pengambilan O2 maupun pengeluaran CO2 secara osmosis
langsung melalui seluruh permukaan tubuh.
Sistem ekskresi terdiri dari 2 tabung ekskresi
longitudinal yang mulai dari sel-sel nyala (flame cells) yang di bagian
anteriornya berhubungan silang. Seluruh sistem ini terbuka ke luar melalui
porus ekskretorius. Flame cells atau sel-sel api berfungsi sebagai alat
ekskresi yang membuang zat-zat sampah yang merupakan sisa-sisa metabolisme dan
juga sebagai alat osmoregulasi dalam arti ikut membantu mengeluarkan
ekses-ekses penumpukan air di dalam tubuh, sehingga nilai osmosis tubuh tetap
dapat dipertahankan seperti ukuran normal.
Sistem saraf terdiri dari 2 batang saraf
yang membujur memanjang, yang di bagian anteriornya berhubungan silang, dan 2
ganglion anterior yang terletak dekat di bawah mata. Ganglion berfungsi sebagai
otak dalam arti bertindak sebagai pusat susunan saraf serta mengkoordinir
aktivitas-aktivitas anggota tubuh. Seonggok ganglion tersebut letaknya di
bagian kepala persis di bawah lapisan epidermis agak di sebelah bintik mata.
Ganglion ini karena terletak di bagian kepala dan berfungsi sebagai otak maka
biasa disebut ganglion kepala atau ganglion cerebral. Dari ganglin cerebral ini
keluarlah cabang-cabang urat saraf secara radier menuju ke arah lateral,
anterior, dan pasterior. Cabang anterior menuju ke bagian bintik mata, cabang
lateral menuju ke alat indera cemoreseptor, sedangkan cabang posterior ada satu
pasang kanan kiri yang saling bersejajar yang membentang di bagian ventral
tubuh yang disebut tali saraf.
Planaria sudah mempunyai alat indera
yang berupa bintik mata, dan indera aurikel, yang kedua-duanya terletak di
bagian kepala. Bintik mata merupakan titik hitam yang terletak di bagian dorsal
daripada bagian kepala. Masing-masing bintik mata terdiri dari sel-sel pigmen
yang tersusun dalam bentuk mangkok yang dilengkapi dengan sel-sel saraf
sensorik yang sangat sensitif terhadap sinar. Bintik mata itu sekedar dapat
membedakan gelap dan terang saja.
Planaria bersifat hermafrodit, terdapat
alat kelamin jantan dan betina. Alat kelamin jantan terdiri dari:
1. Testis, yang
berjumlah ratusan, berbentuk bulat tersebar di sepanjang sisi tubuh keduanya.
2. Vasa
eferensia, yang merupakan pembuluh yang menghubungkan testis dengan bagian
pembuluh lainnya.
3. Vasa
deferensia, merupakan pembuluh berjumlah dua buah yang masing-masing membentang
di setiap sisi tubuh yang kedua-duanya saling bertemu dan bermuara ke dalam
suatu kantung yang disebut vesiculus seminalis.
4. Vesiculus
seminalis, berfungsi untuk menampung sperma dan menyalurkan sperma menuju ke
penis.
5. Penis, yang
merupakan alat pentransfer ke tubuh waktu mengadakan kopulasi pada perkawinan
silang.
Sistem alat kelamin betina terdiri dari atas bagian-bagian
seperti berikut:
1. Ovari,
berjumlah dua buah, berbentuk bulat terletak di bagian anterior tubuh.
2. Oviduct, dari
setiap ovarium akan membentang ke arah posterior sebuah saluran yang disebut
oviduct (saluran telur). Antara saluran telur kanan dan kiri saling bersejajar
yang masing-masing dilengkapi dengan kelenjar yang menghasilkan kuning telur.
3. Kelenjar kuning
telur, menghasilkan kuning telur yang akan disediakan bagi sel telur bila telah
diproduksi oleh ovarium.
4. Vagina,
merupakan suatu aliran yang berfungsi untuk menerima transfer spermatozoid dari
cacing planaria lain.
5. Uterus,
merupakan ruangan yang bentuknya menggelembung yang berfungsi untuk menyimpan
spermatozoid. Uterus juga biasa disebut receptaculus seminalis.
6. Genital atrium
(ruang genitalis) yaitu muara antara kedua buah saluran telur.
Planaria berkembang biak dengan cara
seksual maupun aseksual. Menurut Radiopoetro (1988: 192), Planaria akan
menghindarkan diri bila terkena sinar yang kuat, oleh karena itu pada siang
hari cacing itu melindungkan diri di bawah naungan batu-batu atau daun atau di
bawah objek yang lain. Pada waktu istirahat biasanya Planaria melekatkanatau
menempelkan diri pada suatu objek dengan bantuan zat lendir yang dihasilkan
oleh kelenjar-kelenjar lendir. Planaria melakukan dua macam gerak, yaitu gerak
merayap dan meluncur. Menurut Rusyana (2011) Planaria sp memiliki daya
regenerasi yang sangat tinggi, bila hewan ini dipotong-potong, maka bagian yang
hilang akan tumbuh kembali dan menjadi individu utuh seperti sebelumnya
1. Thrematoda
Trematode hidup di dalam atau pada tubuh
hewan lain. Semua cacing hisap adalah parasit, berbentuk silinder atau seperti
daun. Panjang berkisar 1 cm hingga 6 cm. Cacing ini memiliki penghisap untuk
menempelkan diri ke organ internal atau permukaan luar inangnya. Sebagai suatu
kelompok, cacing trematoda memparasiti banyak sekali jenis inang, dan sebagian
besar spesies memiliki siklus hidup yang kompleks dengan adanya pergiliran
tahap seksual dan aseksual. Banyak trematoda memerlukan suatu inang perantara
atau intermediet tempat larva akan berkembang sebelum menginfeksi inang
terakhirnya (umumnya vertebrata), tempat cacing dewasa hidup. Sebagai contoh,
trematoda yang memparasati manusia menghabiskan sebagian dari hidupnya di dalam bekicot.
Trematoda dewasa pada umumnya hidup di
dalam hati, usus, paru-paru, ginjal, dan pembuluh darah vertebrata. Trematoda
berlindung di dalam tubuh inangnya dengan melapisi permukaan tubuhnya dengan
kutikula dan permukaan tubuhnya tidak memiliki silia (Kastawi, 2003)
Trematoda tidak mempunyai rongga badan dan
semua organ berada di dalam jaringan parenkim. Tubuh biasanya pipih
dorsoventral, dan biasanya tidak bersegmen dan seperti daun. Mereka mempunyai
dua alat penghisap, satu mengelilingi mulut dan yang lain berada di dekat
pertengahan tubuh atau pada ujung posterior.
Sistem pencernaan
makanan sangat sederhana. Terdapat mulut pada ujung anterior, yang dikelilingi
oleh sebuah alat penghisap. Makanan dari mulut melalui faring yang berotot ke
esofagus dan kemudian ke usus, yang terbagi menjadi dua sekum yang buntu. Sekum
ini kadang bercabang, dan percabangan ini kadang-kadang sedikit rumit.
Kebanyakan trematoda tidak mempunyai anus, dengan demikian sisa bahan makanan
harus diregurgitasikan. Sistem reproduksinya kompleks. Sebagian besar dari
trematoda hermafrodit, atau mempunyai organ jantan dan betina.
Sistem pencernaan
makanan sangat sederhana. Terdapat mulut pada ujung anterior, yang dikelilingi
oleh sebuah alat penghisap. Makanan dari mulut melalui faring yang berotot ke
esofagus dan kemudian ke usus, yang terbagi menjadi dua sekum yang buntu. Sekum
ini kadang bercabang, dan percabangan ini kadang-kadang sedikit rumit.
Kebanyakan trematoda tidak mempunyai anus, dengan demikian sisa bahan makanan
harus diregurgitasikan. Sistem reproduksinya kompleks. Sebagian besar dari
trematoda hermafrodit, atau mempunyai organ jantan dan betina.
1. Cestoda
Cestoda hidup sebagai parasit dalam tubuh hewan.
Contoh cacing pita adalah Taenia solium dan Taenia saginata yang parasit pada manusia.
Taenia terdiri dari sebuah kepala bulat yang disebut scolex, sejumlah ruas,
yang sama disebut disebut proglotid. Pada kepala terdapat alat hisap dan jenis Taenia
solium mempunyai kait (rostellum) yang sangat tajam untuk melekat pada
inang. Di belakang scolex terdapat leher kecil yang selalu tumbuh yang akan
menghasilkan proglotid . Panjang tubuh cacing pita dapat mencapai 2 m. Setiap
proglotid mengandung organ kelamin jantan (testis) dan organ kelamin betina
(ovarium).
Tiap proglotid dapat terjadi
fertilisasi sendiri. Proglotid yang dibuahi terdapat di bagian posterior tubuh
cacing. Setelah reproduksi seksual, proglotid yang penuh dengan ribuan telur
yang terfertilisasi dilepaskan dari ujung posterior dan meninggalkan tubuh
inang bersama feses (Campbell, 2008). Proglotid dapat melepaskan diri
(strobilasi) dan keluar dari tubuh inang utama bersama dengan tinja dengan
membawa ribuan telur. Jika termakan hewan lain, telur akan berkembang dan memulai
siklus hidup barunya. Menurut Suwignyo (2005:45) cacing pita tidak memiliki
saluran pencernaan. Cacing pita menyerap makanan yang telah dicerna terlebih
dahulu oleh inang.
Cestoda bersifat parasit karena
menyerap sari makan dari usus halus inangnya. Sari makanan diserap langsung
oleh seluruh permukaan tubuhnya karena cacing ini tidak memiliki mulut dan
pencernaan (usus) ( Kastawi, 2003). Manusia dapat terinfeksi Cestoda saat
memakan daging hewan yang dimasak tidak sempurna. Inang perantara Cestoda adalah
sapi pada Taenia saginata dan babi pada taenia solium.
Siklus Hidup Taenia sp
Larva, yang dilengkapi dengan scolex akan
berkembang menjadi kista pada jaringan tubuh inang, misal pada otot. Manusia
yang memakan daging yang terinfeksi, akan menyebabkan kista berkembang menjadi
cacing pita dewasa Cacing pita dewasa terdiri dari scolex dan proglotid. Proglotid
pada bagian ujung mengandung telur yang telah dibuahi yang siap dikeluarkan
bersama feses untuk menginfeksi kembali Di dalam telur yang telah dibuahi,
embrio berkembang menjadi larva. Sapi mungkin akan memakan telur bersama rumput
dan akan menjadi inang sementara bagi cacing pita.
2.2.4 Manfaat
Adapun peranan Platyhelminthes dalam kehidupan adalah
sebagai berikut:
1. Planaria menjadi
salah satu makanan bagi organisme lain.
2. Cacing hati
maupun cacing pita merupakan parasit pada manusia
a. Schistosoma sp,
dapat menyebabkan skistosomiasis, penyakit parasit yang ditularkan melalui
siput air tawar pada manusia. Apabila cacing tersebut berkembang di tubuh
manusia, dapat terjadi kerusakan jaringan dan organ seperti kandung kemih,
ureter, hati, limpa, dan ginjal manusia.Kerusakan tersebut disebabkan
perkembangbiakan cacing Schistosoma di dalam tubuh.
b. Clonorchis
sinensis yang menyebabkan infeksi cacing hati pada manusia dan hewan mamalia
lainnya, spesies ini dapat menghisap darah manusia.
c. Paragonimus sp,
parasit pada paru-paru manusia. dapat menyebabkan gejala gangguan pernafasan
yaitu sesak bila bernafas, batuk kronis, dahak/sputum becampur darah yang
berwarna coklat (ada telur cacing).
d. Fasciolisis sp,
parasit di dalam saluran pencernaan. Terjadinya radang di daerah gigitan,
menyebabkan hipersekresi dari lapisan mukosa usus sehingga menyebabkan hambatan
makanan yang lewat. Sebagai akibatnya adalah ulserasi, haemoragik dan absces
pada dinding usus. Terjadi gejala diaree kronis.
e. Taeniasis,
penyakit yang disebabkan oleh Taenia sp. Cacing ini menghisap sari-sari makanan
di usus manusia.
f. Fascioliasis,
disebabkan oleh Fasciola hepatica. Merupakan penyakit parasit yang menyerang
semua jenis ternak. Hewan terserang ditandai dengan nafsu makan turun, kurus,
selaput lendir mata pucat dan diare.
Campbell, Neil A. 2008. Biologi Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Jasin,
Maskoeri. 1984. Sistematik Hewan Invertebrata dan Vertebrata. Surabaya: Sinar
Wijaya.
Kastawi, Y., Indriwati, S. E.,
Ibrohim., Masjhudi., & Rahayu, S.E . 2003. Zoologi Avertebrata. Malang :
Jurusan Biologi FMIPA UM
Radiopuetro. 1988. Zoology.
Jakarta : Erlangga
Sutarno, Nono. 2009.
Platyhelminthes. Website: http :// file. upi. edu/ Direktori/ FPMIPA/
JUR._PEND._ BIOLOGI/ 194808181974121 NONO_SUTARNO/ZOOIN/ PLATYHELMINTHES.pdf.
Diakses Selasa, 2 Januari 2016 pukul 12.27 WIB
Suwignyo, S ., Wardianto, Y.,
Widigdo, B. & Krisanti, M. 2015. Avertebrata Air Jilid 1. Jakarta : Penebar
Swadaya
No comments:
Post a Comment